Sabtu, 13 Oktober 2012

Rahasia Dibalik Angka



Tafsir Bil Hikmah Fenomena Angka dan Semesta
“Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.”
(Q.S. Ar-Ra’du 13 : 8)

Ayat-ayat Allah ada yang tertulis dalam kitab suci Al Quran dan ada pula yang tidak tertulis di dalamnya, yaitu yang terbentang di seluruh jagat raya. Ayat 8 dari surat ke-13 di atas menjelaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan kadar ukuran yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, tidak ada ayat Allah, baik yang tertulis maupun yang terbentang itu ada atau terjadi begitu saja, tanpa disengaja. Semuanya sudah direncanakan, diperhitungkan, dan diatur oleh-Nya, bukan merupakan sesuatu yang kebetulan.
Apabila disengaja, tentu ada maksud dan tujuannya.  Maksud dan tujuan Allah membuat itu semua ada yang bisa langsung dipahami oleh manusia namun ada juga yang memerlukan penafsiran. Saat manusia melakukan penafsiran, bisa jadi makna sebenarnya dari ayat-ayat Allah itu tersingkap, tetapi mungkin juga penafsiran itu tidak atau belum mencapai makna sebenarnya. Namun yang pasti, manusia memang diperintahkan untuk terus menelaah dan mengkaji ayat-ayat Allah.
Demikian juga dengan ayat-ayat Allah yang berupa angka dan bilangan,  baik yang terdapat di dalam Al Quran ataupun yang ada di alam semesta ini. Planet yang beredar mengelilingi matahari berjumlah 9, satu tahun terdiri atas 12 bulan, satu minggu ada 7 hari. Umat Islam diperintahkan shalat wajib sehari semalam 5 kali, apabila berjamaah pahalanya 27 derajat. Seusai shalat, kita disuruh berdikir masing-masing 33 kali.
Tentu ada makna di balik angka-angka tersebut.
Pertanyaannya, bisakah manusia menafsirkannya?
Bagaimana hukumnya?

Angka-Angka Bermakna

Fenomena 165
Di dalam Flying Book yang ditulis oleh KH. Fahmi Basya, bilangan 165 ditafsirkan memiliki arti yang khusus. Angka 1 berarti Tuhan, tertuang dalam konsep Ihsan. 6 berarti Rukun Iman dan 5 merupakan Rukun Islam. Angka 165 itu ternyata juga muncul ketika kita melaksanakan zikir di setiap ba’da shalat fardhu. Nabi memerintahkan kita untuk berzikir dengan mengucap Subhanallaah sebanyak 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allaahu Akbar juga 33 kali. Dalam hadis sahih riwayat Muslim dari Abu Hurairah juga dari Qutaibah, Rasul bersabda, “Sukakah kamu kuajarkan suatu amal yang dapat memperoleh pahala orang-orang dahulu serta mendahului orang-orang sesudah kamu dan tidak akan ada orang yang lebih mulia dari kamu melainkan orang yang mengamalkan seperti amalmu, sabda Rosul: Hendaklah kamu tasbih, takbir dan tahmid masing-masing 33 kali setiap selesai shalat.”
Apabila setiap selesai shalat masing-masing ucapan zikir itu dilafalkan sebanyak 33 kali, maka dalam sehari semalam atau lima kali shalat fardhu maka kita mengucapkan zikir-zikir itu masing-masing sebanyak 33 x 5 = 165. Jadi, ditafsirkan bahwa zikir-zikir ba’da shalat merupakan pengokoh Islam, Iman, dan Ihsan kita. Dengan konsisten mengucapkan zikir-zikir itu secara ikhlas dan khusyu, berarti kita menjaga dan memperkuat ke-Islam-an, ke-Iman-an, dan sikap Ihsan kita.
Selain itu, angka 165 juga muncul dalam fenomena lima bilangan ganjil pertama. Di dalam hadis disebutkan bahwa Allah menyukai yang ganjil. Apabila kita menjumlahkan lima bilangan ganjil pertama yang dipangkat dua maka akan kita dapatkan hasilnya sebagai berikut:
            12 + 32 + 52 + 72 + 92 
        = 1 + 9 + 25 + 49 + 81
        = 165
Juga apabila kita perhatikan surat ke-1 dalam Al Quran, yaitu Al Fatihah, terjemah ayat ke-5 berbunyi, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Tafsirannya, menyembah dan memohon pertolongan tertuang dalam rukun Islam. Sedangkan ayat ke-6 nya berarti “Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus”, tafsirannya, untuk menempuh jalan yang lurus harus berbekal Rukun Iman.

Peringatan Ahad
Ahad berarti satu, juga merupakan nama salah satu hari. Berkaitan dengan hal ini, apabila kita coba perhatikan beberapa kejadian pada tahun 2004 yang lalu, akan kita temukan sebuah rangkaian ‘pertanda’ tentang pesan tertentu yang disampaikan oleh Allah kepada manusia. Pada tahun itu, Hari Raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijah yang bertepatan dengan tanggal 1 Februari jatuh pada hari Ahad. Demikian juga dengan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal yang bertepatan dengan tanggal 14 November, jatuh pada hari Ahad. Maulid Nabi Muhammad saw. tanggal 12 Robiul Awal yang bertepatan dengan tanggal 2 Mei pun ternyata jatuh pada hari Ahad. Juga peristiwa Isra’ Miraj tanggal 27 Rajab yang bertepatan dengan tanggal 12 September dan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram yang bertepatan dengan tanggal 22 Februari, keduanya juga terjadi pada hari Ahad. Dan yang paling akhir, ada sebuah peristiwa yang menggemparkan seisi dunia yang merenggut ratusan ribu korban jiwa, yaitu bencana gempa bumi dan Tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember, ternyata juga terjadi pada hari Ahad.
Apakah peristiwa-peristiwa besar yang sama-sama terjadi pada hari Ahad tersebut terjadi secara kebetulan? Pasti tidak. Sepertinya bumi yang terus berotasi dan berevolusi ini melalui kejadian-kejadian tersebut sedang mengumandangkan kalimat ‘Ahad’, ‘Ahad’, ‘Ahad’, ‘Ahad’, … ‘Ahad’. Lantas apakah atau siapakah ‘Ahad’ itu. Jawabnnya adalah Allah. “Katakanlah, ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa (Ahad). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia’.” (Q.S. Al Ikhlash 112: 1-4)
Peristiwa-peristiwa Ahad itu sepertinya menjadi peringatan bagi manusia untuk kembali mengingat Allah Yang Maha Ahad. Zaman sekarang ini memang semakin banyak orang yang berbuat maksiat dan melalaikan perintah Allah. Sehingga, barangkali Allah pun memperingatkan kita melalui peristiwa-peristiwa tersebut. “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Yunus 10: 5)

27 Derajat
Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa pahala shalat berjamaah adalah 27 derajat lebih tinggi dibandingkan shalat sendiri. Tentang hal ini, Agus Mustofa dalam buku Pusaran Energi Ka’bah menyatakan bahwa ketika kita shalat –di mana di dalamnya kita banyak membaca ayat Al Quran, berzikir, dan menyebut nama Allah– sesungguhnya kita sedang memancarkan energi positif dari dalam diri kita. Energi itu berupa getaran-getaran sebagaimana digambarkan dalam firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal”(Q.S. Al Anfal 8: 2)
Menurut Agus, saat belum melakukan shalat, energi itu tidak terpancar. Tetapi ketika kita sudah memulainya, energi itu akan terpancar baik secara vertikal maupun horisontal. Agus mengibaratkan hal itu dengan lampu yang dinyalakan dengan tenaga baterai. Lampu yang dinyalakan hanya dengan satu baterai tentu kalah terang dengan yang dinyalakan dengan lebih banyak baterai. Demikian juga dengan orang yang melaksanakan shalat. Jika kita shalat sendirian, energi yang kita pancarkan hanya memiliki kekuatan satu pancaran saja. Tetapi kalau kita sholat berjamaah, maka masing-masing orang memancarkan energinya masing-masing dan bergabung menjadi energi yang jauh lebih besar. Hal ini persis seperti sejumlah baterai yang digabungkan secara serial untuk menghidupkan lampu. Baterai-baterai yang terhubung secara serial itu harus bersentuhan satu sama lain agar energinya bisa tersalur dan bergabung. Demikian juga halnya dengan shalat berjamaah, Rasul memerintahkan kita untuk merapatkan barisan sampai bersentuhan satu sama lain, tapi bukan berarti berdesak-desakkan. Hal ini ditafsirkan agar energi positif yang terpancar masing-masing jamaah bisa tersalurkan dan bergabung menjadi pancaran energi yang lebih besar. Begitu juga denga shalat berjamaah di Masjidil Haram yang dikatakan oleh Rasul berpahala 100 ribu kali lipat dibandingkan shalat sendiri di tempat lain. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena adanya pancaran-pancaran energi positif dari jutaan jamaah yang melaksanakan shalat di seputar Ka’bah dan Masjidil Haram, ditambah dengan pancaran energi dari sekian banyak umat Islam yang melaksanakan shalat di berbagai penjuru dunia yang semuanya menghadap ke Ka’bah di Masjidil Haram. 

Kelipatan 19
Fenomena angka 19 dan kelipatannya di dalam Al Quran memang sudah cukup lama dibicarakan orang. Berikut adalah beberapa di antaranya yang dikutip dari buku Matematika Islam yang ditulis oleh KH. Fahmi Basya, dosen mata kuliah Matematika Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Apabila kita hitung jumlah huruf nyata dalam kalimat basmalah, akan kita lihat ada 19 huruf nyata di dalamnya. Selain itu, angka 19 atau kelipatannya juga banyak muncul dalam Al Quran (lihat Tabel).
Tabel di atas baru sebagian saja yang dikutip, karena dalam tulisan Fahmi Basya ada 26 poin dalam tabel tersebut. Masih berkaitan dengan angka 19, apabila kita menghitung ruas tulang jari-jari tangan dan kaki kita maka masing-masing memiliki 19 ruas tulang.
Kita memiliki dua tangan dan dua kaki,  jumlah ruas tulang tersebut adalah 19 x 4 = 76. Adapun surat ke-76 di dalam Al Quran adalah Al Insan yang berarti manusia. Sehingga, apabila kita perhatikan nomor surat, nama surat, dan jumlah ruas tulang, ternyata memiliki hubungan satu sama lain yang berkaitan dengan bilangan 19.

Pengulangan 7
“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung.” (Q.S. Al Hijr 15: 87). Sebagian besar ulama menafsirkan bahwa tujuh ayat yang diulang-ulang itu adalah surat Al Fatihah. Dan faktanya memang benar, tujuh ayat dalam surat Al Fatihah itu memang diulang-ulang oleh seluruh umat Islam ketika melakukan shalat.
Namun, apabila kita perhatikan fenomena lainnya, akan kita temukan fenomena pengulangan 7 lainnya. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al Baqarah 2: 29) Di dalam ayat tersebut, Allah menyebut tentang adanya tujuh langit. Dan ternyata ayat yang membicarakan tentang tujuh langit di dalam Al Quran jumlahnya juga tujuh ayat. yaitu dalam surat Al Baqarah 2: 29, Al Mukminuun 23: 17, Fushshilat 41: 12, Ath-Thalaq 65: 12, Al Mulk 67: 3, Nuh 71: 15, dan An Naba’ 78: 12. 
Selain itu, kalau kita perhatikan dengan saksama, ternyata angka tujuh memiliki keunikan tersendiri. Apabila kita bagi sebuah bilangan (berapa pun yang tak habis dibagi tujuh) dengan angka tujuh, hasil yang akan diperoleh adalah pola angka-angka unik di belakang koma.  Pola angka tersebut akan selalu berulang setelah angka satu. Jadi, angka tujuh memang benar-benar memiliki fenomena pengulangan.

4 Ruku 4 Sujud
KH. Fahmi Basya menjelaskan bahwa ketika kita telah melakukan 1 rakaat dalam shalat, sesungguhnya kita sudah melakukan satu putaran yang terdiri atas satu kali ruku dan dua kali sujud. Saat ruku kita membentuk sudut 90° dari posisi berdiri tegak. Sedangkan saat sujud kita membentuk sudut 90°+45°=135° dari posisi tegak. Sehingga 1 ruku ditambah dua sujud adalah 90° + 135° + 135° = 360° atau satu lingkaran penuh.
Namun, ada shalat yang satu rakaatnya terdiri atas dua ruku dan dua sujud, yaitu Shalat Gerhana. Aisyah r.a. berkata, “Pada masa Rasulullah saw. masih hidup pernah terjadi gerhana matahari. Maka Rasulullah saw. menyuruh orang banyak shalat berjamaah. Setelah mereka berkumpul, Rasulullah saw. datang lalu bertakbir dan shalat 4 kali ruku dan 4 kali sujud dalam dua rakaat.” (Sahih Muslim)
Oleh KH. Fahmi Basya, perputaran dalam Shalat Gerhana yang terdiri atas dua rakaat dengan 4 ruku dan 4 sujud itu dihitung sebagai berikut.
 Rakaat 1           =          360º + 90º                                 (karena 2 x rukuk)
=          0º     + 90º         = 90º
Rakaat 2           =          360º + 90º                                 (karena 2x rukuk)
=          0º     + 90º         = 90º
———————————————————————————  +
= 180º               = Garis Lurus
Maknanya, dalam Shalat Gerhana berarti kita membentuk sudut 180º atau garis lurus. Hal ini sama dengan posisi matahari, bumi, dan bulan saat terjadi gerhana, yaitu membentuk satu garis lurus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan numpang coret bagi syapa sj yang berminat yaa...sebaris ketikan komen kamu sangat berarti besar buat motivasi blog baru ini..(o_o)v