Bunga…Aku bertemu dia setahun yang
lalu. Tepat di tempat ini. Diwaktu seperti ini. Cerah.
Saat itu musim bunga…
Taman yang indah. Aku bahkan tak
pernah tahu alasanku ada di taman bunga saat itu. Tempat yang paling anti
kudatangi seumur hidupku, seingatku. Yang aku tahu, aku terpaku berjam-jam di
tempat itu, karena seorang gadis.
Saat itu musim bunga…
Aku melangkahkan kaki menyusuri papping block abu-abu yang membelah
hamparan rumput di taman itu. Membentang bagai jembatan di atas lautan bunga.
Ketika mataku menangkap seorang gadis. Gadis manis berbaju merah muda.
Berlarian ditengah taman. Diantara bunga-bunga yang mekar. Seperti anak kecil
yang sedang bermain kejar-kejaran tanpa ada seorangpun yang mengejarnya.
Berputar-putar mengelilingi bunga-bunga di sekitarnya sambil tersenyum.
Rambutnya yang lurus terurai, melambai-lambai di hempas angin. Aneh, pikirku.
Seakan tanpa beban dia terlihat menikmati pemandangan yang terjejal indah di
depannya, sangat polos. Seakaan seisi dunia di rasa seindah taman bunga itu.
Saat itu musim bunga…
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang
aneh menjalar kesekujur tubuhku. Tawa itu. Jantunngku berdegup tak karuan.
Sistem syarafku kacau. Akal sehatku menjauh, digantikan pikiran-pikiran fiksi
yang melahirkan fatamorgana dan menari-nari di benakku. Seirama dengan rok
gadis yang meliuk-liuk diterpa angin. Indah. Bahkan lebih indah dari bunga yang
mengelilingi Gadis itu. Aku terhipnotis.
“ Hai…!”
Aku tersentak. Lamunanku terpencar
seketika. Samar-samar kulihat bayangan, makin lama makin jelas. Tepat
didepanku. Ah..Gadis itu kini dihadapanku tersenyum manis, sangat nyata.
“Hai…hmm… kamu pasti suka bunga, sejak
tadi aku melihatmu mematung disini?” Tanyanya. Gadis itu ternyata
memperhatikanku, entah sejak kapan.
“Ah…eh…anu..hmm…iya…eh..tidak ! Aku
Cuma lewat “ Jawabku. Kupalingkan wajahku ke bawah, Aduh, Ada apa denganku?
Kikuk karena seorang gadis…biasa. Apa? Gadis biasa? Tidak, dia bukan sekedar
gadis biasa. Dia lebih dari biasa.
“Bunga…Bunga matahari.Kamu? Tanpa aku
minta, dia menyebutkan namanya sembari menyodorkan tangannya padaku.
“Aku Dewa..Dewa Matahari.” Kataku
mantap. Kuraih uluran tangannya.
“Matahari? Wah, kita sama ya…sama-sama
matahari, aku bunganya kamu mataharinya. Kita pasti bisa jadi teman yang cocok.
“Katanya sambil tersenyum.
Sejak pertemuan itu, kami menjadi
dekat. Kedekatan ini terjalin tanpa aku sadari dan aku sangat menikmatinya.
Mungkin karena dia Bunga yang indah, terselip diantara gelapnya dunia.
Keindahannya mampu membuat matahari selalu tersenyum cerah dan membuatku ingin
bersing dengan matahari-matahari lain untuk melindungi dan menjaga
keindahannya.
Suatu hari di musim bunga…
Kudapati bunga berdiri di depan
rumahku. Di bawah lebatnya guyuran hujan. Diam, mematung. Bergegas kuhampiri
Bunga tanpa mempedulikan apapun disekitarku. Motor butut kesayanganku,
satu-satunya peninggalan ayahku pun terpaksa aku telantarkan di pinggir jalan
demi menghampiri Bunga dengan cepat. Tak ada payung yang kupegang, Jaket yang
kukenakan segera kulepas dan kupakai sebagai pengganti payung, walau percuma,
dia tetap basah. Bibirnya membiru. Aku tak bisa mengira, entah sudah berapa lama
dia berdiri disitu. Aku menyesal, terlambat sampai dirumah saat itu.
Di ruang tamu. Lama dia mematung,
dengan tatapan sayu, memegang cangkir air hangat yang ku beri tanpa sedikitpun
dia meminumnya. Tik…tok…tik…tok…detik berlalu. Dia masih saja diam tanpa kata.
Berbagai pertanyaan muncul dia kepala. Kenapa ? Ada apa dengannya? Bunga yang
kulihat di hadapanku terliht lusuh, Layu, tak mekar seperti biasa. Aku takut.
Aku sedih. Aku tergetar melihatnya seperti itu. Tak seperti biasa.
“Dia pergi…”katanya lirih
Suaranya memecah kesunyian setelah
sekian lama terkurung dalam kebisuan. Dia mulai membuka mulutnya. Aku
menunggu..menunggu kata selanjutnya yang meluncur di bibirnya.
“Dia telah pergi…Ri. Hiks…hiks…hiks…”
Isakan tanginya mulai terdengar di
sela-sela gemuruh hujan.
“Siapa yang kamu maksud bunga?” Kucoba
bertanya. Pelan.
“Matahariku telah pergi ninggalin aku
Ri…aku…aku…sendirian…huu..hu…huu….!”
Tangisnya pecah. Buliran air mata di
pipinya mengucur deras. Aku bingung. Siapa yang dia maksud. Pemandangan ini
membuat dadaku sesak. Gemuruh hati ini terasa jelas kurasakan, lebih dari
gemuruh hujan di atap genteng. Rasanya sunggu mengiris hata. Sakit.
Tangisnya makin lama makin kencang.
Tak tega, kupeluk dia. Kubenamkan wajahnya dalam dekapannku. Berharap kepedihan
yang dia rasakan segera menghilang. Aku tak tahan melihatnya begini.
“Tenanglah bunga. Aku akan menjadi
pengganti mataharimu mulai saat ini, besok dan seterunya. Aku janji !” Ucapku
padanya. Aku tak main-main. Ini janjiku.
Janji sang matahari untuk selalu menyinari si bunga walau musim terus
berganti.
Hari ini, musim bunga…
Tak banyak yang berubah, taman ini
masih tetap sama. Kembang warna-warni. terhampar luas dikaki cakrawala,
memenuhi setiap inci taman ini. Paping block abu-abu, masih setia menjadi
jembatan perlintasan disana, menanti manusia-manusia kota menyusuri setapak
demi setapak permadani kecil yang berlumut dari ujung ke ujung tempat ini,
walau hanya sekedar lewat atau mereka benar-benar ingin menikmati musim bunga
di taman ini, dia tak peduli.
Hari ini musim bunga...
Walau tak banyak berubah, bagiku semua
beda…
Dear
matahariku,
Terimakasih
atas semua sinar yang kamu berikan tulus untuk bunga yang sederhana dan tak
indah ini. 5 tahun… bersusah payah menyinariku agar tetap segar.tidak layu.
Bagiku,
kamu adalah Dewa matahari yang tuhan kirim buatku, tak lelah bersinar walau
saat dunia tak bersahabat padaku, sinarmu menjadi penerang jalanku
Tapi…
Maafkan
aku,,,semakin kuat sinarmu padaku, aku merasa semakin layu, aneh..bukan karena
aku tak menginginkannya. Sinarmu yang menyengat membuatku menjadi terbakar…
oleh perasaan gelisah dan bersalah. Memanfaatkan kebaikanmu untuk kenyamananku
sungguh menyiksaku.
Carilah
bunga yang baru yang lebih pantas mendapat cahayamu. Akupun akan segera
menemukan matahariku kembali. Kita akhiri sampai disni. Aku harap kamu bahagia.
Jangan
mencoba mencariku karena aku tak ingin kamu temukan.
Salam
hangat
Bunga
Kupandangi selembar kertas terakhir
yang dikirim bunga padaku sebagai pesan perpisahan.Aku tak tahu mengapa. Yang
aku tahu, Dia meninggalkanku.
Tinggallah aku, sang matahari yang
dikhianati bunganya sendiri…
Saat ini musim bunga…
Tanpa bunga dihatiku….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan numpang coret bagi syapa sj yang berminat yaa...sebaris ketikan komen kamu sangat berarti besar buat motivasi blog baru ini..(o_o)v