Kamis, 15 Agustus 2013

CERPENQ : BUNGA……MATAHARI…… (Lanjutan dari cerpen “Bunga”)

15 tahun sudah aku berada di balik layar , hanya mengamati dari jauh, tanpa mempunyai keberanian sedikitpun untuk mendekatinya. Tatapannya masih sama, dingin dan kesepian. Betapa ingin aku mengampirinya, menghiburnya, berbagi kesedihan bersama, menemaninya agar tatapan itu segera menghilang dari mata indahnya. Namun, urung kulakukan karna rasa malu yang amat besar bersarang di dadaku.

“Aku Dewa… Dewa Matahari” katanya saat perkenalan resminya padaku. Perkenalan yang akhirnya terwujud karena skenarioku. Skenario yang sudah susah payah ku buat akhirnya terlaksana dengan baik. Kami saling berkenalan walau aku sudah tahu dia sejak dulu, tentu saja Dia tidak tahu.

Dia… Bocah laki-laki yang kulihat 15 tahun yang lalu, saat itu diam mematung di sebuah meja restoran cepat saji tepat di seberang taman kota.  Tak lama kemudian menangis memegang mainan robot. Menunggu Ibunya yang meninggalkannya dengan sebuah janji. Janji untuk menjemputnya kembali. Janji yang aku dan semua orang tahu itu takkan terwujud. Tapi bocah itu tetap percaya. Satu hari…dua hari… tiga hari… tiap hari Dia menanti… menanti janji itu akan menjadi nyata. Dengan tatapannya yang dingin dan kesepian….

Sungguh kasihan bocah itu, pikirku saat itu. Melihat tatapannya membuatku berfikir bahwa kami berdua mirip. Sama-sama kesepian. Sama-sama menderita karena sendirian. Dan sama-sama butuh teman. Ingin aku menghampirinya saat itu. Tapi aku malu, yang kulakukan hanya mengamatinya dari jauh. Setiap hari… setiap saat.

Kesempatan emas kini sudah kudapatkan. Aku mulai dekat dengan … ya… Matahari. Tentu aku takkan membiarkan semua berlalu begitu saja. Tiap hari… tiap waktu.. tiap jam… tiap menit… tiap detik… aku akan selalu menyemangatinya. Kamipun dekat karena kami merasa saling membutuhkan. Seperti Bunga yang akan mekar menyemangati matahari agar tak lelah untuk selalu menyinari bunga. Kami dekat karena kami memang kami saling melengkapi. Aku senang dia bahagia. Karena itu harapanku satu-satunya.

Siang itu, langkahku terhenti tepat di depan rumahnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tak berani menginjakkan kaki di rumah itu. Rumah yang paling sangat ingin kukunjungi setiap saat. Sebelum ku tahu satu kenyataan yang menyesakkan. Takdir yang membuatku hilang . Aku sadar. Aku Bunga. Pada hakikatnya setiap Bunga pasti akan berhenti mekar dan layu, Aku tahu itu dengan pasti. Tapi aku tak pernah menyangka masa indahku akan segera berakhir. Aku bukan menyesali nasibku yang menyedihkan, yang aku pikirkan hanya matahari. Bagamana aku bisa meninggalkan dia dengan cara menyedihkan seperti ini. Dia pasti terluka. Sangat terluka dan aku tak mau itu.

Lama aku berdiri di depan rumahnya tanpa berani sedikitpun melangkah maju. Titik-titik hujan satu persatu mulai jatuh menetes di wajahku. Aku masih tak bereaksi. Langitpun akhirnya menumpahkan seluruh cairan yang tertampung di kantung awannya. Aku tetap tak bergeming. Kubiarkan tetesan hujan menyapu seluruh badanku. Aku berharap derasnya hujan meleburkanku  dan membiarkanku hanyut bersama guyuran airnya. Lenyap tanpa jejak.

Antara sadar dan tidak, samar-samar ku lihat Dia datang dari arah gerbang. Dengan setengah berlari menghampiriku. Seketika itu hatiku bergejolak senang lalu sekelebat kemudian sesak. Tak mampu aku membayangkan hidup ku setelah ini. Hidupnya setelah ku tiada. Tatapan dinginnya kini telah berganti hangat. Gurat kesepian kini memudar. Aku senang. Akankah tatapan itu tetap bertahan walau tanpa aku ? Memikirkannya membuat sistem pertahananku jeblok. Aku tak bisa berfikir lagi. Pikiranku meledak.

“ Dia pergi…” Kataku lirih. Bungamu …aa..kan pergi. Gumamku dalam hati. Aku tak mampu mengungkapkan hal ini kepadanya. Kucoba menguatkan diri.
“ Siapa Bunga?” tanyanya. Bingung dan gelisah sempat kutangkap dari rona wajahnya.
“Ma..taha..riku akan pergi….huu..huu…huu..” Aku tak kuat lagi menahannya. Airmata yang tertahan sejak tadi kini meluncur bebas dipipiku. Melihatku menangis dia mendekapku. Kubiarkan itu. Aku tahu dia pasti ingin menenangkanku. Menghiburku seperti biasa.

Malam ini terasa sangat dingin. Bekas-bekas tetesan hujan masih nampak jelas membawa hawa dingin menusuk ke tulang. Mata tak dapat bisa terpejam. Pikiran tak mampu berehat. Apa yang harus ku lakukan selanjutnya? Penyakit ini lambat laun akan menggerogoti tubuhku perlahan-lahan. Bertahan di sampingnya bukan hal yang baik. Aku hanya ingin Dia bahagia namun kehadiranku pasti akan menjadi beban untuknya. Kurasa.  Aku bingung. Melepasnya tentu membuatku sakit namun membuatnya menderita dengan melihatku lebih membuatku tersiksa. Aku harus bagaimana???

Ah.. Aku tak boleh Egois. Mungkin jalan ini yang harus kulakukan. Semoga dia bahagia.

“ Kumohon Mawar. Bantulah Aku kali ini” Pintaku pada Mawar suatu siang

“ Tidak Bunga. Aku tak bisa. “ kata Mawar

“ Tak ada yang kuinginkan di dunia ini selain kebahagiaannya. Tolong ijinkan aku melakukan ini. Kamu harus membantuku. Ini permintaan terakhirku. Kumohon !“

Aku mengiba memohon pada seorang gadis manis yang ku yakini akan membuat Matahariku tetap bersinar. Walau aku bertemu dia tak sengaja beberapa waktu yang lalu, tapi aku yakin dia orang yang tepat.

“ Baiklah. Apa yang harus kulakukan untukmu?”

Aku tersenyum mendenganya. Sudah kuduga Dia gadis yang baik. Sekarang tinggal meyusun skenario untuk mereka. Mawar dan matahari. Aku pasti berhasil, seperti saat aku melakonkan sandiwaraku saat itu.

Kini Aku lega. Melihat matahariku tersenyum karna Mawar, sangat melegakan. Walau kadang aku tak bisa membohongi hati yang sesak saat melihatnya bersama orang lain. Aku harus kuat. Aku tak boleh serakah. Bagiku melihatnya bersinar itu sudah cukup. Ya… Sinar sang mentari sudah cukup untukmu Bunga.   Aku tahu ini pasti berhasil. Kini tinggal skenario terakhir.

Surat. Surat perpisahan.

Dear matahariku,

Terimakasih atas semua sinar yang kamu berikan tulus untuk bunga yang sederhana dan tak indah ini. ………………………………………….
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

Carilah bunga yang baru yang lebih pantas mendapat cahayamu. Akupun akan segera menemukan matahariku kembali. Kita akhiri sampai disni. Aku harap kamu bahagia.

Aku berhenti sejenak. Menumpulkan kekuatan untuk menuliskan rangkaian kata perpisahan yang sesungguhnya tak ingin kulakukan dan tak pernah terlintas dipikiranku dulu, saat takdir ini belum mendesakku melakukan hal bodoh ini. Ayo Bunga… Kamu pasti kuat. Gumamku dalam hati.

Jangan mencoba mencariku karena aku tak ingin kamu temukan.

Salam hangat

Bunga

Air mata ku tak dapat lagi kubendung, dengan derasnya mengucur melewati setiap inci tubuhku. Kubiarkan mengalir bersama memori indah tentang Dia. Dia yang memiliki tatapan dingin dan kesepian saat itu. Dia yang menghangatkanku dengan sinarnya yang lembut. Dia yang kuharap bisa ku dampingi selamanya. Dia yang kuinginkan kebahagiannya. Dia…. Matahariku…      Selamat tinggal… matahariku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan numpang coret bagi syapa sj yang berminat yaa...sebaris ketikan komen kamu sangat berarti besar buat motivasi blog baru ini..(o_o)v