15 tahun sudah aku berada di balik
layar , hanya mengamati dari jauh, tanpa mempunyai keberanian sedikitpun untuk
mendekatinya. Tatapannya masih sama, dingin dan kesepian. Betapa ingin aku
mengampirinya, menghiburnya, berbagi kesedihan bersama, menemaninya agar
tatapan itu segera menghilang dari mata indahnya. Namun, urung kulakukan karna
rasa malu yang amat besar bersarang di dadaku.
“Aku Dewa… Dewa Matahari” katanya saat
perkenalan resminya padaku. Perkenalan yang akhirnya terwujud karena
skenarioku. Skenario yang sudah susah payah ku buat akhirnya terlaksana dengan
baik. Kami saling berkenalan walau aku sudah tahu dia sejak dulu, tentu saja
Dia tidak tahu.
Dia… Bocah laki-laki yang kulihat 15
tahun yang lalu, saat itu diam mematung di sebuah meja restoran cepat saji
tepat di seberang taman kota. Tak lama
kemudian menangis memegang mainan robot. Menunggu Ibunya yang meninggalkannya
dengan sebuah janji. Janji untuk menjemputnya kembali. Janji yang aku dan semua
orang tahu itu takkan terwujud. Tapi bocah itu tetap percaya. Satu hari…dua hari…
tiga hari… tiap hari Dia menanti… menanti janji itu akan menjadi nyata. Dengan
tatapannya yang dingin dan kesepian….
Sungguh kasihan bocah itu, pikirku
saat itu. Melihat tatapannya membuatku berfikir bahwa kami berdua mirip.
Sama-sama kesepian. Sama-sama menderita karena sendirian. Dan sama-sama butuh
teman. Ingin aku menghampirinya saat itu. Tapi aku malu, yang kulakukan hanya
mengamatinya dari jauh. Setiap hari… setiap saat.
Kesempatan emas kini sudah kudapatkan.
Aku mulai dekat dengan … ya… Matahari. Tentu aku takkan membiarkan semua
berlalu begitu saja. Tiap hari… tiap waktu.. tiap jam… tiap menit… tiap detik…
aku akan selalu menyemangatinya. Kamipun dekat karena kami merasa saling
membutuhkan. Seperti Bunga yang akan mekar menyemangati matahari agar tak lelah
untuk selalu menyinari bunga. Kami dekat karena kami memang kami saling
melengkapi. Aku senang dia bahagia. Karena itu harapanku satu-satunya.
Siang itu, langkahku terhenti tepat di
depan rumahnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tak berani
menginjakkan kaki di rumah itu. Rumah yang paling sangat ingin kukunjungi
setiap saat. Sebelum ku tahu satu kenyataan yang menyesakkan. Takdir yang
membuatku hilang . Aku sadar. Aku Bunga. Pada hakikatnya setiap Bunga pasti
akan berhenti mekar dan layu, Aku tahu itu dengan pasti. Tapi aku tak pernah
menyangka masa indahku akan segera berakhir. Aku bukan menyesali nasibku yang menyedihkan,
yang aku pikirkan hanya matahari. Bagamana aku bisa meninggalkan dia dengan
cara menyedihkan seperti ini. Dia pasti terluka. Sangat terluka dan aku tak mau
itu.
Lama aku berdiri di depan rumahnya
tanpa berani sedikitpun melangkah maju. Titik-titik hujan satu persatu mulai
jatuh menetes di wajahku. Aku masih tak bereaksi. Langitpun akhirnya
menumpahkan seluruh cairan yang tertampung di kantung awannya. Aku tetap tak
bergeming. Kubiarkan tetesan hujan menyapu seluruh badanku. Aku berharap
derasnya hujan meleburkanku dan
membiarkanku hanyut bersama guyuran airnya. Lenyap tanpa jejak.
Antara sadar dan tidak, samar-samar ku
lihat Dia datang dari arah gerbang. Dengan setengah berlari menghampiriku.
Seketika itu hatiku bergejolak senang lalu sekelebat kemudian sesak. Tak mampu
aku membayangkan hidup ku setelah ini. Hidupnya setelah ku tiada. Tatapan
dinginnya kini telah berganti hangat. Gurat kesepian kini memudar. Aku senang.
Akankah tatapan itu tetap bertahan walau tanpa aku ? Memikirkannya membuat
sistem pertahananku jeblok. Aku tak bisa berfikir lagi. Pikiranku meledak.
“ Dia pergi…” Kataku lirih. Bungamu
…aa..kan pergi. Gumamku dalam hati. Aku tak mampu mengungkapkan hal ini
kepadanya. Kucoba menguatkan diri.
“ Siapa Bunga?” tanyanya. Bingung dan
gelisah sempat kutangkap dari rona wajahnya.
“Ma..taha..riku akan
pergi….huu..huu…huu..” Aku tak kuat lagi menahannya. Airmata yang tertahan
sejak tadi kini meluncur bebas dipipiku. Melihatku menangis dia mendekapku.
Kubiarkan itu. Aku tahu dia pasti ingin menenangkanku. Menghiburku seperti
biasa.
Malam ini terasa sangat dingin.
Bekas-bekas tetesan hujan masih nampak jelas membawa hawa dingin menusuk ke
tulang. Mata tak dapat bisa terpejam. Pikiran tak mampu berehat. Apa yang harus
ku lakukan selanjutnya? Penyakit ini lambat laun akan menggerogoti tubuhku
perlahan-lahan. Bertahan di sampingnya bukan hal yang baik. Aku hanya ingin Dia
bahagia namun kehadiranku pasti akan menjadi beban untuknya. Kurasa. Aku bingung. Melepasnya tentu membuatku sakit
namun membuatnya menderita dengan melihatku lebih membuatku tersiksa. Aku harus
bagaimana???
Ah.. Aku tak boleh Egois. Mungkin jalan
ini yang harus kulakukan. Semoga dia bahagia.
“ Kumohon Mawar. Bantulah Aku kali
ini” Pintaku pada Mawar suatu siang
“ Tidak Bunga. Aku tak bisa. “ kata Mawar
“ Tak ada yang kuinginkan di dunia ini
selain kebahagiaannya. Tolong ijinkan aku melakukan ini. Kamu harus membantuku.
Ini permintaan terakhirku. Kumohon !“
Aku mengiba memohon pada seorang gadis
manis yang ku yakini akan membuat Matahariku tetap bersinar. Walau aku bertemu
dia tak sengaja beberapa waktu yang lalu, tapi aku yakin dia orang yang tepat.
“ Baiklah. Apa yang harus kulakukan
untukmu?”
Aku tersenyum mendenganya. Sudah
kuduga Dia gadis yang baik. Sekarang tinggal meyusun skenario untuk mereka.
Mawar dan matahari. Aku pasti berhasil, seperti saat aku melakonkan sandiwaraku
saat itu.
Kini Aku lega. Melihat matahariku
tersenyum karna Mawar, sangat melegakan. Walau kadang aku tak bisa membohongi
hati yang sesak saat melihatnya bersama orang lain. Aku harus kuat. Aku tak
boleh serakah. Bagiku melihatnya bersinar itu sudah cukup. Ya… Sinar sang
mentari sudah cukup untukmu Bunga. Aku
tahu ini pasti berhasil. Kini tinggal skenario terakhir.
Surat. Surat perpisahan.
Dear
matahariku,
Terimakasih
atas semua sinar yang kamu berikan tulus untuk bunga yang sederhana dan tak
indah ini. ………………………………………….
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Carilah
bunga yang baru yang lebih pantas mendapat cahayamu. Akupun akan segera
menemukan matahariku kembali. Kita akhiri sampai disni. Aku harap kamu bahagia.
Aku berhenti sejenak. Menumpulkan
kekuatan untuk menuliskan rangkaian kata perpisahan yang sesungguhnya tak ingin
kulakukan dan tak pernah terlintas dipikiranku dulu, saat takdir ini belum
mendesakku melakukan hal bodoh ini. Ayo Bunga… Kamu pasti kuat. Gumamku dalam
hati.
Jangan
mencoba mencariku karena aku tak ingin kamu temukan.
Salam
hangat
Bunga
Air mata ku tak dapat lagi kubendung,
dengan derasnya mengucur melewati setiap inci tubuhku. Kubiarkan mengalir
bersama memori indah tentang Dia. Dia yang memiliki tatapan dingin dan kesepian
saat itu. Dia yang menghangatkanku dengan sinarnya yang lembut. Dia yang
kuharap bisa ku dampingi selamanya. Dia yang kuinginkan kebahagiannya. Dia….
Matahariku… Selamat tinggal…
matahariku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan numpang coret bagi syapa sj yang berminat yaa...sebaris ketikan komen kamu sangat berarti besar buat motivasi blog baru ini..(o_o)v